“MERDEKA BELAJAR” ALA COVID 19
Kalimat “Merdeka Belajar” sontak menjadi ramai di kalangan pemerhati Pendidikan Ketika kalimat tersebut hadir dari seorang Menteri Pendidikan Kabinet Indonesia Maju (KIM) Bapak Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A.
Berbagai opini muncul menyingkapi kalimat “Meredeka Belajar”, bermacam argumen hadir mengupas tentang kalimat “Merdeka Belajar”. Pro Kontra mengiringi perjalanan gagasan Mas Menteri (Sapaan Akrab Pak Menteri Pendidikan) bahkan ada yang ragu akan kredibilitas seoarang Nadiem Makarim, Ya, mungkin karena latar belakang Nadiem Makarim yang sebagai “Bos” Gojek sebuah perusahaan transportasi dan penyedia jasa berbasis Daring yang notabenenya jauh dari kata “Pendidikan”.
Menarik jika kita fahami dan kaji lebih dalam maksud dari kalimat “Merdeka Belajar” ini. Bukan tanpa alasan Mas Menteri menorehkan prasasti kalimat “Merdeka Belajar”, banyak pertimbangan yang menjadi dasar terciptanya kalimat “Merdeka Belajar”. Banyaknya tagihan yang harus di penuhi oleh pendidik (guru) yang berbanding terbalik dengan peningkatan Pendidikan itu sendiri sehingga tercipta asumsi dalam memenuhi tagihan yang harus di kerjakan guru lebih menyita waktu daripada memberi pembelajaran kepada siswa di kelas, sehingga kelas banyak yang di tinggalkan oleh guru dengan dalil memenuhi kewajiban ke administrasian proses pembelajaran.
Kemudian,
Mas Menteri juga menyoroti para siswa yang masih di bebani secara mental dengan
angka-angka nilai minimal dari hasil proses akhir pembelajaran,mau tidak mau
siswa di tuntut untuk mencapai atau bahkan melewati angka minimal yang telah di
tentukan oleh satuan Pendidikan maupun yang telah di tentukan oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tidak sedikit siswa yang frustasi dengan
keadaan ini, bahkan banyak beredar di media televisi, media massa siswa yang
bunuh diri hanya di karenakan tidak lulus akibat tidak mampu mencapai angka
minimal yang telah di tentukan.
Paling
tidak kedua hal itulah yang membuat Mas Menteri mencetuskan kalimat “Merdeka
Belajar”,dengan harapan dalam Pendidikan Indonesia ini dapat berjalan dengan
guru happy tanpa tekanan wajib mempersiapkan bertumpuk-tumpuk administrasi
pembelajaran dan siswa juga happy tanpa di tuntut batas minimal angka dari
akhir proses pembelajaran.
Namun
sayang “belum kering” kalimat “Merdeka Belajar” itu di ucapkan, cobaan besar
melanda Negeri kita bahkan Dunia. Coronavirus disease 2019 atau lebih akrab di
sebut Covid 19. Sungguh luar biasa Covid 19 ini mampu melumpuhkan tatanan
kehidupan di seantero dunia tidak terkecuali negara tercinta Indonesia.
Serangan covid 19 mempora porandakan system kenegaraan kita, segala bidang
lumpuh total,hingga harus ada perombakan kebijakan yang harus di lakukan.
Tanpa
terkecuali, dunia Pendidikan kita. Yang pada awalnya sudah tersusun rapi, sudah
tergambar kemudahan-kemudahan dalam aplikasinya, sudah disambut dengan senyum
yang sumringah oleh kalangan pendidik dan peserta didik dan tinggal tunggu
“BOOM”nya, semua seolah sirna, semua program harus berubah mengikuti seleksi
alam yang sedang terjadi.
Ya,Covid
19 telah merubah secara signifikan tujuan dari kalimat “Mereka Belajar”. Walau
Mas Menteri seolah “banting stir” merubah kebijakan namun di lapangan terjadi
“tragedi” permaalahn secara majemuk, dari system pembelajarannya, dari kesiapan
pengajarnya sampai pada peserta didik dan orangtuanya
Kalimat
sakti “Merdeka Belajar” yang diharapkan oleh pelaku dunia Pendidikan seolah
tidak mampu memberi setetes embun kegersangan mereka selama ini, justru dengan
adanya covid 19 Kalimat “Merdeka Belajar” menajdi belengggu tersendiri bagi
guru dan peserta didik bahkan orangtua siswa.
Guru
yang belum siap bermanuver dalam proses pembelajaran, beban psikisnya lebih
berat dari sebelumnya. Ya, factor Usia yang menjadi alasan ter”sakti” untuk
menghindari proses pembelajaran yang di sarankan pemerintah. Dengan usia yang
sudah tidak muda lagi menjadikan mereka sulit untuk mempelajari dunia IT yang
memang saat ini sangat di butuhkan dalam proses pembelajaran era Covid 19.
Tidak
hanya pada guru sebagai pengajar, peserta didik juga mengalami depresi yang
cukup menjadi perhatian bersama, di tingkat menengah mereka yang belajar secara
daring harus mencari titik signal yang tepat untuk mengikuti proses
pembelajaran secara daring. Bagi mereka yang melakukan pembelajaran secara
system luring, terutama di tingkat dasar, siswa dan orang tua terbebani dengan
banyaknya tugas yang di berikan oleh guru, karena tugas yang bebankan sudah
mencakup seluruh matapelajaran sesuai tema untuk 1 minggu.
Persoalan-persoalan
di atas timbul karena system Pendidikan kita sedang “sakit” terkena dampak
Covid 19.
Walau
kalimat “Merdeka Belajar” untuk saat ini belum dapat dirasakan, namun
pemerintah melalui Mas Meteri sedang atau bahkan sedang mengembangkan kurikulum
darurat yang akan di jadikan jembatan yang menghubungkan pengajar dan peserta
didik agar lebih maksimal dan mengurangi persoalan-persoalan yang timbul di
dalam proses pemebajaran di era covid 19 ini.
Semoga
“Merdeka Belajar” akan terwujud di dalam kurikulum darurat ini, sehingga
bisamenjadi kado kemerdekaan Negeri tercinta Indonesia yang ke 75 …. MERDEKA
0 comments:
Post a Comment